Laman

12 Jan 2012

Maqasid Syari’ah


1. Pengertian Maqasid Syari’ah
Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:[1]
1. Kebutuhan Dharuriyat
Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
2. Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
3. Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Peranan maqasid syari’ah dalam pengembangan hukum.[2] Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan.
2. Macam – Macam Maqasid Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan.
Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok :
- Agama
- Jiwa
- Akal
- Keturunan
- Harta
- Menyempurnakan segala yang dihayati manusia.
Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
- Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
Ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
3. Tingkatan Maqasidus Syari’ah [3]
Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri.[4]
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya.
Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.
DAFTAR PUSTAKA
Uman Chairul, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu syari’ah, Jakarta, 2003.
Efendi Satria, M. Zein, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group. Kencana, Jakarta, 2008.


[1] Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung. 1998.
[2] Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Jakarta, 2003.
[3] Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group Kemcama, Jakarta, 2008
[4] Ibid, hal. 125 – 130.

Konsep Uang dalam Perspektif Ekonomi Islam


Yang merupakan alat penyimpanan nilai/daya dan standar pembayaran yang tertangguhkan, sehingga uang dapat dan di perbolehkan untuk di pertukarkan dan di perjual-belikan dengan harga tertentu.
                Ketika uang di anggap sebagai modal, maka uang akan menjadi barang pribadi atau private goods, di mana orang dapat menyimpan, menimbun dan mengendapkan uang dari peredaran dan sirkulasi di masyarakat. Dengan demikian, peran dan fungsi uang dengan sendirinya beralih dari sebagai alat tukar menjadi sebagai alat penyimpan nilai kekayaan. Artinya, uang merupakan stock concept yang dapat diakumulasi sedemikian rupa sebagai modal dan kekayaan pribadi.
                Dalam ekonomi Islam, uang merupakan alat tukar dan alat satuan hitung. Tetapi uang bukanlah komoditas yang dapat di perjual belikan layaknya barang dan jasa ekonomi. Karena uang bukan merupakan komoditas, maka uang tidak identik dengan modal dan tidak boleh di anggap sebagai modal1. Sebagai alat tukar uang tidak boleh di endapkan. Uang harus terus mengalir, bergulir dan berputar dalam masyarakat untuk di gnakan dalam kegiatan ekonomi. Karena itu konsep uang dalam ekonomi Islam adalah flow concept dan bukan stock concept.
                Konsep mengalir ini pada gilirannya akan mengharuskan uang sebagai public property, di mana seorang tidak boleh memperlakukan uang layaknya private property. Tulisan ini mencoba mengurai persamaan dan perbedaan konsep uang dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional, peran, fungsi uang di dalam ekonomi, dan teori permintaan uang. Selanjutnya akan di sampaikan analisis keunggulan dan kelemahan masing-masing pandangan, sehingga dapat di ketahui sistem terbaik dalam melakukan kegiatan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan penggunaan uang, dan sistem pengelolaan keuangan.
Definisi Uang
                Uang adalah sesuatu yang secara mum di terima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran utang-utang2. Uang juga dapatdi definisikan sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, sebagai unit penghitung, sebagai alat penyimpan nilai/daya beli, dan sebagai standar pembayaran yang tertangguhkan3.
                Pengertian uang juga dapat dikelompokan menurut tingkat Liquiditasnya Yaitu:4
1.       M1 adalah uang kartal (currency) yang beredar di masyarakat plus simpanan dalam bentuk uang giral (demand deposits). Di sebut juga uang beredar dalam arti sempit atau narrow money.

1 M. Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, terj. M. Nastangin. (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 162
2 Iswardono, Uang dan bank (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997), h.
3 Roger Le Roy Miller dan David D. Van Hoose, Modern Money andBanking (Singapore: McGraw-Hill, International, 1993), h. 6
4 Ibid, h. 47-52. lihat juga Eugene A. Diulio, Uang dan Bank, h. 15-16
2.       M2 adalah M1 plus tabungan (sarving deposits) dan deposito berjangka (time deposits) pada bank umum. Di sebut juga uang beredar dalam arti luas atau broad money
3.       M3 adalah M2 plus simpanan pada lembaga keuangan non bank. Seluruh simpanan yang ada pada bank dan lembaga keuangan non bank tersebut uang kuasi atau quasi money.

Berdasarkan ketia definisi uang tersebut, tingkat liquiditas yang paling tinggi adalah M1, karena proses untuk menjadikan M! Ke dalam uang tunai adalah yang paling cepat.
                Uang dapat berupa benda apa saja yang dapat di terima masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah dan di tetapkan oleh undang-undang Negara. Uang dapat di buat dari logam emas, perak dan logam biasa atau terbuat dari batu, ternak atau kertas dan lain sebagainya. Namun demikian, ada lima persyaratan atau kriteria yang dapat di pakai untuk menjadikan benda sebagai alat tukar atau uang. Adapun kriteria tersebut adalah sebagai berikut:5
1.       Portability, atau mudah di bawa dan mudah untuk ditranfer.
2.       Durability, atau secara fisiktahan lama. Karena itu barang yang tidak tahan lama tidak layak di jadikan uang, misalnya kecap.
3.       Divisibility, atau mudah dan dapat di bagi-bagi menjadi besar, sedang dan kecil, sehingga mudah untuk di belanjakan. Misalnya nilai teransaksi perdagangan yang berjumlah besar seharusnya menggunakan uang yang berjumlah besar pula, tetapi nilai transaksi yang berjumlah kecil sebaiknya menggunakan satuan mata uang yang lebih kecil juga. Contoh satuan mata uang yang bernilai Rp. 1000,- , Rp. 500,- dan lain sebagai uang
4.       Standardizability, atau menstandarkan nilai dan kualitas uang serta dapat di bedakan dengan barang lainnya. Hal ini berarti harus ada prasyarat stability of value, di mana manfaat dari di jadikannya uang adalah nilai uang itu harus dijaga supaya tidak berfluktuasi secara berlebihan. Sebab sebagian masyarakat ada menyimpan kekayaannya dalam bentuk uang, sehingga bila uang berfuktuasi terlalu cepat dan dalam skala besar, maka orang tidak akan dapat menerimanya.
5.       Recognizability, atau mudah dibedakan dan dikenal secara umum. Sedang dalam buku lain disebutkan acceptability and cognizability6 artinya prasyarat utama dari sesuatu barang yang pantas dijadikan uang adalah dapat deterima dan diketahui secara umum. Dengan kata lain, diterima sebagai alat pembayaran, sebagai alat penyimpan kekayaan atau daya beli, sebagai alat tukar dan alat satuan hitung seperti fungsi dan peran uang yang sudah dikenal secara umum oleh masyarakat.
Apapun bentuk dan rupa uang, secara alamiah dan secara inheren, uang mempunyai pengertian riil bahwa uang merupakan klaim seseorang yang dapat digunakan untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa dalam ekonomi.




5 Ibid, h. 9-10. Liahat juga Iswardono, Uang dan Bank, h. 4-5.
6 Iswardono, Uang dan Bank, h. 4.
Uang Menurut Ekonomi Islam serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Ekonomi Konvensional
                Uang adalah sesuatu yang secara umum dapat diterima dan digunakan para pelaku ekonomi di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran utang-utang. Dengan demikian uang dapat di definisikan dari fungsi dan peran uang itu sendiri, yaitu sebagai alat pertukaran, unit penghitung, penyimpan nilai dan sebagai standar pembayaran yang ditangguhkan7.
                Beberapa literatum ekonomi konvensional mengatakan bahwa uang merupakan aset yang sangat istimewa dan mempunyai status yang sangat istimewa pula atas aset-aset ekonomi lainnya. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, uang merupakan barang yang paling liquid, mudah untuk diperjual belikan dan dipertukarkan dengan barang lainnya tanpa memberikan biaya penyimpanan, sehingga kita dapat menukarkannya kapan saja dan di mana saja8..
Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa uang yang merupakan asset dalam ekonomi konvensional, di satu sisi dapat diartikan sebagai modal dan di sisi lain sebagai uang itu sendiri. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Collin Rogers dalam bukunya Money, Interest and Capital (1989), seperti yang dikutip oleh Adiwarman A. Karim9.
Pengertian uang sebagai modal pada gilirannya akan memunculkan ide bunga sebagai harga dari penggunaan uang tersebut. Hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Islam, karena uang tidak identik dengan modal, sehingga uang tidak boleh diperjual belikan layaknya barang-barang komoditas ekonomi lainnya. Akan tetapi Islam menerima uang sebagai alat tukar maupun sebagai alat satuan hitung untuk mengukur suatu nilai barang dan komoditas ekonomi dalam suatu sistem perekonomian untuk menggantikan sistem perekonomian barter yang penuh dengan praktek ketidakadilan dan ketidakjujuran.10
Untuk dapat mengetahui lebih lanjut persamaan dan perbedaan pandangan antara ekonomi Islam dan konvensional mengenai uang akan dibahas peran dan fungsi uang. Sebagian besar ahli ekonomi mengatakan bahwa peran dan fungsi uang adalah sebagai berikut:
1. Sebagai alat tukar (medium of exchange).
2. Sebagai alat penyimpan nilai / daya beli (store of value).
3. Sebagai alat satuan hitung (unit of account) atau alat pengukur nilai (measure of value).
4. Sebagai ukuran standar pembayaran yang ditangguhkan (standard of deferred payment).

7 Dudlley G. Luckett, Uang dan Perbankan, terj. Paul C. Rosyadi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994), h. 254
8 Roger Le Roy Miller, Modern Money and Banking, h.6.
9 Adiwarmain A. Karim, Ekonomi Islam, h. 19.
10 M. Abdul Mannan, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, h. 162


Dalam Islam, tidak ada masalah dengan peran dan fungsi uang seperti yang tersebut di atas, selama uang tidak dipandang sebagai suatu komoditas yang bisa diperjual belikan layaknya barang dan jasa. Peranan uang yang sedemikian itu bisa diterima secara meluas dengan maksud untuk menggantikan peran sistem perekonomian barter, di mana dengan adanya uang, orang tidak perlu mencari pembeli yang kebetulan mau menukarkan barangnya dengan barang lain yang kebetulan dibutuhkan oleh penjual. Inilah yang dinamakan dua kebetulan atau a double coincidence of wants11 yang tidak perlu terjadi bila suatu perekonomian menggunakan uang sebagai media pertukaran dan berperan sebagaimana mestinya uang harus berperan dan berfungsi.


11 Ibid, h.10. Lihat juga Boediono, Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5(Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1994

step 2


STRUKTUR PENGAWASAN
BANK SYARIAH

PRODUK PERBANKAN KONVENSIONAL
PRODUK PERBANKAN SYARIAH

Skema Tabungan, Deposit, Giro, Investasi Khusus
Akad Wadiah / Mudharabah, Mudharabah, Wadiah, Mudharabah Muqayyadah
  1. Nasabah menyimpan uangnya di bank dengan akad wadiah atau mudharabah
  2. Bank menyalurkan dana ke industri untuk diberdayakan
  3. Industri mengembalikan dana dan return (baghas, margin) kepada bank
  4. Nasabah mengambil uang simpanan plus bonus atau baghas dari bank.
Skema Penyertaan, Modal kerja
Akad Musyarakah, Mudharabah
  1. Kesepakatan melakukan mudharabah
  2. (a) Nasabah memberi kontribusi skill 100%, (b) bank memberi modal 100%
  3. (a) bila terjadi laba, maka dibagi sesuai nisbah kesepakatan. (b) jika terjadi rugi, maka pemilik modal menanggung penuh kerugian uang, sedang pengelola menanggung kerugian non uang
  4. Nasabah mengembalikan modal dari bank
1

Skema Modal Kerja
Akad Murabaha
  1. Kesepakatan melakukan murabahah
  2. Nasabah mengajukan spesifikasi barang (biasanya + DP)
  3. Bank mengajukan spesifikasi barang pesanan ke pihak pengada (supplier)
  4. Bank melakukan pembelian barang
  5. Supplier mengirim barang pesanan ke pihak nasabah
  6. Nasabah melakukan pelunasan sesuai kesepakatan

Skema Pertanian
Akad Salam
  1. Kesepakatan melakukan salam
  2. Nasabah mengajukan spesifikasi objek
  3. Nasabah memberi DP kepada pihak Bank
  4. Bank melakukan salam dengan pihak pengada (pemasok) sesuai pemesanan
  5. Bank mengajukan spesifikasi barang pesanan pada pemasok
  6. Bank melakukan pembayaran tunai ke pihak pemasok
  7. Pemasok mengirim barang pesanan ke pihak nasabah
  8. Nasabah melakukan pelunasan kepada pihak bank

Skema Konsumtif
Akad Murabahah
  1. Kesepakatan melakukan murabahah
  2. Nasabah mengajukan spesifikasi barang (biasanya + DP)
  3. Bank mengajukan spesifikasi barang pesanan ke pihak pengada (Dealer)
  4. Bank melakukan pembelian barang
  5. Dealer mengirim barang pesanan ke pihak nasabah
  6. Nasabah melakukan pelunasan sesuai kesepakatan


perbankan syariah 1


Perangkat yang Digunakan Perbankan Syariah dalam Mengelola Likuiditas
1.       Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam Rupiah antar perserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah. Pasar Uang Antarbank Syariah menggunakan instrumen IMA (Investasi Mudharabah Antarbank) yang berjangka wakti maksimum 90 hari, yang diterbitkan oleh kantor pusat Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) Bank Konvensional. Sertifikat ini digunakan sebagai sarana untuk memperoleh dana dengan prinsip mudharabah.

Terdapat ketentua IMA, antara lain :
¢  Pemindahtanganan sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan untuk memindahtangankan sertifikat tersebut pada bank lain sampai akhir jangka waktu.
¢  Besarnya imbalan sertifikat IMA yang dibayarkan pada awal bulan dihitung atas dasar tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah pada bank penerbit sebelum didistribusikan sesuai dengan jangka waktu penanam.

Jangka waktu sertifikat IMA = tingkat imbalan yang digunakan 1 hari s/d 20 hari
deposito  investasi mudharabah 1 bulan, 31 s/d 90 hari investasi mudhabarah 3 bulan.

                                              
Di mana : X = besarnya imbalan yang diberikan kepada bank penanam dana.
                                   P = nilai nominal investasi.
                                   R= tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah.
                                   T = jangka waktu investasi.
                                   k = nisbah bagi hasil untuk bank penanam modal.


2.       Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI).

Sertifikat ini diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam
rangka pelaksanaan operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syariah dapat
berjalan dengan baik. Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia adalah sebagai bukti
penitipan dana berjangka waktu pendek berdasarkan prinsip wadi’ah.

Ketentuan SWBI, antara lain :
¢  Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000,- dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50.000.000,- jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu dan satu bulan yang dinyakatakan dalam jumlah hari.
¢  Bank Indonesia memberikan bonus kepada bank dan Unit Usaha Syariah pada saat jatuh tempo . Besarnya bonus akan dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan PUAs, yaitu : rata-rata tertimbang dari tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi di PUAS pada tanggal penitipan.

RISIKO-RISIKO
PERBANKAN SYARIAH
1.       Risiko Likuiditias.

Risiko likuiditas adalah risiko yang berkaitan dengan ketidakmampuan bank
dalam memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
Rasio likuiditas dapat dikategorikan, antara lain :
¢  Rasio likuiditas pasar, yaitu : rasio yang timbul karena bank tidak mampu melakukan offsetting posisi tertentu dengan harga pasar yang karena kondisi likuditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan di pasar (market disruption).
¢  Rasio likuiditas pendanaani, yaitu  : risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.

Salah satu penyebab kepailitan / kebangkrutan suatu bank karena
ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Besar kecilnya suatu risiko sangat bergantung pada 4 hal,  antara lain :
¢  Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana.
¢  Ketetapan dalam mengatur struktur dana, termasuk kecukupan dana-dana non-LPS.
¢  Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas.
¢  Kemampuan menciptakan akses ke pasar antarbank atau sumber dana lainnya. Termasuk fasilitas lender of last resort.


2.       Risiko Kredit (Credit Risk).

Risiko kredit  adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) dalam memenuhi kewajibannya, tidak bisa memperoleh kembali
Cicilan pokok dan / atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi
yang sedang dilakukannya.
Risiko kredit dapat ditekan dengan cara memberikan batas wewenang keputusan kredit
bagi setiap aparat perkreditan berdasarkan kemampuannya dan batas jumlah kredit yang
dapat diberikan pada perusahaan atau usaha tertentu  dan melakukan diversifikasi.
Penyebab utama risiko ini adalah bank terlalu mudah memberikan pinjaman atau
melakukan investasi. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memanfaatkan kelebihan
likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat.


3.       Risiko Modal (Capital Risk).

Risiko modal merefleksikan target leverage yang dipakai oleg bank. Salah satu
fungsi modal adalah melindungi para penyimpan dana terhadap kerugian yang terjadi
pada bank.
Risiko modal sangat terkait dengan kualitas aset. Bank menggunakan sebagian besar
dananya pada aset yang berisiko perlu memiliki modal penyangga yang besar untuk
sandaran apabila kinerja aset-asetnya tidak baik.


KENDALA PENGEMBANGAN
BANK SYARIAH
¢  Sumber Daya Manusia. Maraknya perbankan syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai, terutama SDM yang memiliki latar belakang pengetahuan dalam bidang perbankan syariah.
¢  Belum Terpenuhinya Peraturan Pemerintah di Bidang Perbankan Syariah. Walaupun pasca krisis pembahasan Undang-Undang (UU) Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, namun upaya untuk merealisasikan UU yang lebih komprehensif belum begitu komprehensif. Maka, setidaknya UU mampu menginterpretasikan perkembangan Bank Syariah di masa depan di mana perkembangan Bank Syariah memerlukan proses perbaikan secara bertahap.
¢  Kurangnya Akademisi Perbankan Syariah. Sementara ini, banyak pendidikan yang lebih berorientasi pada pengenalan ekonomi konvensional daripada ekonomi Islam, yang pada gilirannya perhatian terhadap ekonomi Islam khususnya perbankan Islam terabaikan dan kurang mendapatkan perhatian.
¢  Kurangnya Sosialisasi kepada Masyarakat tentang Keberadaan Bank syariah secara Menyeluruh. Sosialisasi tersebut tidak sekadar untuk memperkenalkan keberadaan bank syariah, tetapi juga mencakup mekanisme, produk bank syariah dan instrumen keuangan lainnya.

STRATEGI PENGEMBANGAN
BANK SYARIAH
Upaya pengembangan Bank Syariah ke depan memerlukan strategi, antara lain :
¢  Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Bidang Perbankan Syariah. Salah satunya perlu mengembangkan sistem pendidikan yang mengintegrasikan teori dan praktik perbankan syariah dalam rangka meningkatkan integritas bank syariah di tengah-tengah masyarakat.
¢  Perlunya Upaya-Upaya yang Lebih Progresif dari Semua Pihak yang Concern terhadap Keberadaan dan Pengembangan Bank Syariah Baik dari Kalangan Pemerintah, Ulama maupun Praktisi Perbankan terutama dari Kalangan Akademisi.
¢  Memberikan Kesempatan Seluas-luasnya kepada Bank Konvensional untuk Membuka Kantor Cabang Syariah yang Mampu secara Legalitas dan Material untuk Mendirikan Bank Umum Syariah di Seluruh Pelosok Negeri.


PENGEMBANGAN
BANK SYARIAH
Prinsip-Prinsip Pokok Pengembangan Bank Syariah, antara lain :
¢  Pengembangan jaringan Bank Syariah diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, yaitu interaksi antara masyarakat dan investor. Bank Indonesia berperan dalam menciptakan perangkat ketentuan perbankan yang dapat mendukung terlaksananya kegiayan usaha Bank Syarah yang sehat, efisien dan sejalan dengan prinsip syariah.
¢  Pengaturan dan pengembangan Bank Syariah dilaksanakan dengan perlakukan yang sama (equal treatment) antara Bank Syariah yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan perlakuan hanya boleh dilaksanakan dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip syariah karena perbedaan secara nature.
¢  Pengembangan perbankan syariah baik dari sisi kelembagaan maupun pengaturan dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan (gradual and sustainable approach).
¢  Pengaturan dan pengembangan perbankan syariah menganut prinsip universalitas sesuai dengan nilai dasar Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Dengan demikian, semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan untuk turut serta mengembangan Bank Syariah, tidak terbatas pada masyarakat Muslim. Asalkan tetap taat pada prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaannya baik akad maupun kegiatannya.
¢  Mengedepankan nilai-nilai dan moralitas Islam, seperti shiddiq, istiqamah, tabliq, amanah dan fathanah. Nilai-nilai tersebut harus selalu menjadi dasar dalam pengaturan dan pengembangan Bank Syariah.

STRUKTUR PENGAWASAN
BANK SYARIAH   
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang ditindaklanjuti dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR dan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR, pengawasan terhadap Bank Syariah
dilakukan secara rangkap, berupa :
1. Pengawasan Umum.
Pengawasan umum terhadap Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia sama seperti
Bank Konvensional pada umumnya. Bank Indonesia bertindak mengawasi Bank
Syariah selaku pemegang otoritas pembina dan pengawas bank. Di samping itu, secara
internal Bank Syariah diawasi pula oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas atau
Pengawas Bank lainnya.
2. Pengawasan Khusus.
Pengawasan khusus terhadap Bank Syariah dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang terdapat pada setiap bank yang
menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
Fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN), antara lain :
¢  Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah.
¢  Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.
¢  Memberikan rekomendasi para ulama yang ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
¢  Memberikan teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.
¢  Mengawasi kegiatan usaha Bank Syariah agar sesuai dengan prinsip syariah.
¢  Membentuk pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.
¢  Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya,